Rabu, 09 November 2011

PERAN MUSLIMAH DALAM POLITIK

Berbicara tentang keikutsertaan perempuan di dunia politik saat ini merupakan topik hangat yang diperdebatkan oleh para ulama beserta kaum intelektual dari dulu hingga sekarang. Sebagian ulama memperbolehkan wanita ikut serta dalam kancah politik dengan argumentasi bahwa keikutsertaan mereka merupakan manifestasi dari tanggung jawab sosial, bahkan kewajiban setiap insan tanpa membedakan gender, untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Sebagian ulama lainnya ada yang tidak membolehkan kaum wanita ini terjun dalam dunia politik, hal ini disebabkan sifat serta karekteristik kaum wanita itu berbeda dengan kaum pria, baik dari segi fisikal maupun mental. Berbicara tentang keikutsertaan perempuan di dunia politik saat ini merupakan topik hangat yang diperdebatkan oleh para ulama beserta kaum intelektual dari dulu hingga sekarang. Sebagian ulama memperbolehkan wanita ikut serta dalam kancah politik dengan argumentasi bahwa keikutsertaan mereka merupakan manifestasi dari tanggung jawab sosial, bahkan kewajiban setiap insan tanpa membedakan gender, untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Sebagian ulama lainnya ada yang tidak membolehkan kaum wanita ini terjun dalam dunia politik, hal ini disebabkan sifat serta karekteristik kaum wanita itu berbeda dengan kaum pria, baik dari segi fisikal maupun mental. Dinamika perbedaan itu adalah hal yang wajar dan memperkaya khasanah intelektual dan pemahaman kita atas persoalan. Tentu masing-masing pendirian perihal keikutsertaan perempuan dalam politik memiliki dasar argumentasi sendiri-sendiri. Penulis mengambil preposisi, boleh perempuan untuk serta berpartisipasi dalam kancah politik, bahkan sangat dianjurkan. Tentu saja dengan batasan dan rambu-rambu syar'i yang harus diperhatikan. Preposisi ini mengambil argumentasi, bahwa sesungguhnya kewajiban setiap insane untuk memakmurkan bumi (isti'maru al-ardh) dengan menyeru kepada kebaikan (amru bil ma'ruf) dan mencegah kepada kemungkaran (nahyu ‘anil munkar). Selain itu, potensi aqliyah dan kemampuan sosial (seperti managerialship, empati, komunikasi, dll) wanita sama dengan kaum pria. Bahkan wanita memiliki kelebihan di sifat dan karakternya yang halus, lembut, berperasaan, peka hati nuraninya, yang tentu saja, dalam konteks politik kebijakan, akan bermanfaat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sensitif dan pro masyarakat. Peran Politik Muslimah Dalam Kacamata Islam a. Dalil Al-Qur'an "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka yang ta'at kepada Alloh dan Rosulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana" (QS.Attaubah:71). Alloh SWT telah menerangkan dalam ayat ini bahwa kewajiban amar ma'ruf (memerintahkan kebaikan) dan nahy munkar (mencegah kemungkaran) dalam artian seluas-luasnya, berlaku untuk pria dan perempuan. Taklif (beban) perempuan sama dengan pria dalam berbagai kewajiban syariat, kecuali sesuatu yang dikhususkan oleh Alloh bagi pria atau wanita. Ayat di atas sesungguhnya menekankan satu bentuk tanggung jawab manusia untuk berdakwah, dimanapun, kapanpun, dan dalam kondidisi apapun. Dalam konteks dakwah, lanskap politik hanyalah salah satu media untuk berdakwah (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) - disamping lewat media sosial, budaya, pendidikan, dsb. Dengan pemahaman tersebut, perempuan memiliki tanggung jawab dakwah yang sama dengan pria. Pun, perempuan dapat pula hadir di kancah politik untuk kepentingan dakwah itu sendiri. Dalam prespektif yang lebih luas, dakwah bisa difahami sebagai upaya menghadirkan perbaikan atau reformasi serta menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. b. Muslimah di Pentas Sejarah Umat Kehadiran dan partisipasi perempuan dalam dinamika politik telah pula dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW dan generasi sahabat. Seperti kita ketahui, bahwa Islam datang untuk memuliakan kaum perempuan, yang di zaman jahiliyah Arab benar-benar direndahkan dan dinista. Diantara kejadian dimana perempuan (muslimah) mendapatkan tempat dalam dinamika politik dapat disebutkan sebagai berikut: Dalam Baiah Aqobah Kedua (Sumpah Setia Muslimin Kota Madinah), yang menyatakan kesetiaan kepada Agama Islam dan Kepemimpinan Rasulullah SAW, maka masyarakat Muslimin Madinah mengutus 70 orang wakilnya, yang mana dua orang perempuan turut serta untuk mewakili komunitas muslim Madinah. Dalam konteks kultural pada waktu itu, pengangkuan akan eksistensi dan perwakilan wanita adalah sebuah perlawanan budaya yang luar biasa. Karena di zaman itu memiliki anak wanita saja masih malu dan aib. Kitapun telah membaca dalam rentangan sejarah Islam bagaimana perempuan muslimah keluar bersama para pejuang Islam, mereka mengobati yang luka dan memanggul senjata jika diperlukan, seperti Rafidah, Nasibah dan Khaulah serta Ummu Sulaim dan banyak lagi lainnya. Imam Bukhori, tokoh Hadits nomor wahid dalam pencatatan hadits SAW- telah membuat bab khusus dalam Kitab Hadits Shahihnya dengan judulnya 'Keluarnya Perempuan Bersama Para Pasukan fi Sabilillah' dan beliau telah meriwayatkan perkataan salah seorang shahabiyat (muslimah yang hidup di zaman Nabi): "Kami dulu berperang bersama Rosululloh SAW, memberi minum dan melayani tentara dan kami juga membawa pulang mereka yang terbunuh dan terluka ke Madinah". Masih banyak kisah keterlibatan musliamah dalam politik. Bahkan tercatat, orang yang pertama kali masuk Islam dari umat ini adalah wanita, yaitu Khadijah, orang yang pertamakali mati syahid dalam Islam, juga seorang wanita, iaitu Sumayyah ibunda Ammar Bin Yassir, wanita yang turut hijrah ke Habsyah dan Madinah. Bahkan ada diantara wanita yang Hijrah dalam keadaan hamil tua. Asmah Binti Abu Bakar adalah wanita yang mengantarkan makanan untuk Nabi dan Abu Bakar dalam mereka bersembunyi di dalam gua Tsur, dalam perjalanan Hijrahnya. Demikianlah kita menyaksikan kontribusi sahabat muslimah yang demikian besar di ranah publik, termasuk di wilayah politik. Bahkan, dalam keadaan sangat terdesak, ketika musuh menyerang dan berpeluang menghancurkan negara maka dalam konteks ini adalah menjadi kewajiban seluruh warga negara, maka para ulama memfatwakan bahwa boleh bagi perempuan keluar untuk berjihad tanpa izin suaminya sama sekali, sebagaimana anak kecil keluar untuk berperang tanpa izin bapaknya. Dalam hal ini tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Kita juga dapat menelusuri kiprah perumpuan dalam pentas sejarah nasional bangsa Indonesia. Kita tidak bisa menutup mata terhadap perjuangan kaum perempuan di masa penjajahan kolonial yang tak kalah heroiknya dengan kaum pria. Kita kenal Cut Nyak Dien, tokoh pejuang wanita yang tangguh asal Aceh, Cut Meutia, juga Kartini, yang hingga kini namanya sering dijadikan penanda gerakan ‘emansipasi' wanita. Terlepas dari kekurangan dan keterbatasan mereka, mereka berjuang karena tuntutan keadaan yang memaksa karena penjajahan yang demikian menindas. Selepas merdeka kita juga menemukan banyak diantara perempuan yang aktif berkiprah di ruang-ruang public (politik). Bahkan kini banyak perempuan yang aktif menjadi politisi, anggota parlemen, menteri, dan meraih posisi di jabatan publik lainnya. Apabila ancaman fisik terhadap negara telah mewajibkan perempuan keluar untuk turut berjuang, maka analoginya adalah bahwa serangan/bahaya atas agama Islam secara umum pun akan mewajibkan para perempuan keluar dari rumah untuk ikut berperan serta dalam membela agama, negara dan kemanusiaan. Ketika kemiskinan dan penindasan HAM merajalela; korupsi menjadi nomor satu; pornografi dan porno aksi menjadi santapan utama media; pendidikan dan pencerdasan bangsa dan perempuan terabaikan; dan lain-lain; maka perempuan keluar untuk turut aktif mengentaskan berbagai persoalan tersebut adalah bagian dari peran mereka menegakkan amar ma'ruf nahy munkar. Manifestasi Muslimah Dalam Politik Politik pada dasarnya merupakan laku lahiriyah manusia yang menjadi sunnatullah eksistensinya di dunia. Secara fundamental, dalam khasanah doktrin Islam, disebutkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah-Nya yang mengemban tugas isti'maru al-ardh, memakmurkan bumi dengan syariat-Nya. Kalau khalifah kita artikan sebagai kekuasaan, maka untuk mencapai kekuasaan itu politik tidak mungkin dinihilkan. Artinya manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpolitik, karena Allah tidak mengirim atau membebankan amanah sebagai khalifah-Nya kepada selain manusia. Orang yang tidak dapat hidup berkelompok dan dengan modal kebebasannya tidak memiliki kebutuhan politik sama dengan binatang. Maka sifat politik adalah kekhususan manusia. Setiap manusia adalah insan siyasi (politisi). Manusia yang tidak mengerti politik adalah bukan lagi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Ibnu Khaldun, ilumuwan politik Islam, menegaskan bahwa kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Berpolitik dilukiskan sebagai sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban. Kenyataannya, mengacu pada doktrin Islam, yang terjadi dalam praksis politik memang ada politik yang benar dan sesuai syari'ah (shahihah) serta politik yang salah dan merusak (fasidah). Politik shahihah adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah sarana untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Politik shahihah, dengan demikian, tidak semata-mata bertujuan kekuasaan, tetapi diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan. Adalah tanggung jawab bersama untuk mengkampanyekan dan menampilkan politik shahihah dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kita harus belajar dari sejarah kelam perpolitikan masa lalu yang didominasi oleh langgam politik fasidah. Pun, ketika reformasi bergulir, salah satu komitmen yang kita bangun adalah membangun suatu pemerintahan yang bersih, anti-KKN, dan menghancurkan kultur dan praktik politik fasidah ala orde baru dengan semua antek-anteknya. Di sinilah sesungguhnya hubungan fungsional atau bahkan hubungan organik antara politik dan dakwah. Dakwah merupakan upaya rekonstruksi masyarakat ke arah kebaikan (al-haq). Semua bidang kehidupan merupakan arena dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia merupakan alat dakwah. Kegiatan politik, sebagaimana kegiatan ekonomi, gerakan-gerakan sosial budaya, aktivitas keilmuan dan teknologi, pendidikan, kreasi seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, adalah dakwah. Dengan perspektif dakwah itulah, baik muslim maupun muslimah, sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Surat At-Taubah Ayat 71 di atas, memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam konteks di Indonesia, dimana pelbagai kebijakan pemerintah belum mencerminkan kepentingan rakyat dan maslahat umat, upaya untuk mewujudkan langgam politik yang sahihah menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam, laki-laki ataupun perempuan. Proses penyusunan dan perumusan kebijakan tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga negara dan badan-badan pemerintah yang tersebar dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Belum lagi lembaga-lembaga non pemerintah yang juga bersinggungan dengan pelbagai kepentingan masyarakat. Masyarakat dewasa ini bukan sekedar kumpulan dari individu, lebih dari itu merupakan kumpulan interaksi dari kelembagaan. Peran lembaga-lembaga pada masyarakat kontemporer bahkan nyaris mengalahkan peran individual. Berbagai lembaga yang ada pada saat ini berperan penting dalam kehidupan orang banyak, dengan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan. Sebagian lembaga-lembaga tersebut tidak mungkin dapat berjalan tanpa keberadaan kaum perempuan, seperti lembaga-lembaga pengajaran, lembaga-lembaga kesehatan, lembaga-lembaga sosial yang mengurusi kaum lansia, anak-anak yatim piatu, orang-orang cacat dan lain-lainnya. Kelebihan peran kaum perempuan dalam hal ini sudah tidak diragukan lagi. Ini juga berarti pada saat yang sama kebijakan politik yang menopang kerja lembaga-lembaga tadi, sangat baik juga dimainkan oleh perwakilan kaum perempuan. Muslimah yang memahami betul pesan nilai-nilai Islam yang terekam dalam Al-Qur'an dan Sunnah tentu saja memiliki leverage dan kontribusi yang jauh lebih bermakna bagi kemaslahatan umat di wilayah dimana proses penyusunan dan pengambilan kebijakan publik dilakukan. Digabung dengan karakter perempuan yang lembut, damai, tenang, empatik, dan peka nuraninya, niscaya proses perumusan dan pengambilan kebijakan akan lebih terjamin kemanfaatannya bagi masyarakat dan umat. Wanita muslimah memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan generasi mendatang, mencetak para pejuang, menanamkan nilai-nilai, menghiasi kehidupan dengan cinta, kasih sayang dan keindahan serta memenuhi rumah tangga dan kehidupan (termasuk dunia politik) dengan rasa aman, tenang, tentram dan damai. Wanita muslimah adalah satu-satunya wanita yang sanggup menerangi dunia wanita modern yang telah jenuh dengan filsafat materialisme dan pola hidup jahiliyah yang mendominasi kehidupan masa kini. Hal itu dengan mengenalkan dirinya, menghadapkan dirinya pada sumber permikiran yang murni untuk kemudian menata kembali kepribadiannya yang asli yaitu kepribadian yang telah dibentuk oleh Al-Qur'an dan As Sunnah (Syaikh Ali Al-Hasyimi dalam Jati Diri Wanita Muslimah). Rambu-Rambu Peran Politik Muslimah Untuk dapat menjalankan peran publik dan politik tersebut, maka Islam memberikan beberapa pegangan kepada kaum perempuan: 1. Bekerjanya perempuan di rumah dan di luar rumah di atur oleh Islam, karena dalam kedua peran tersebut, kaum perempuan dapat menjalankan peran amar ma'ruf nahi munkar yang telah diperintahkan agama. Oleh karena itu, perspektif yang digunakan untuk menerima peran perempuan dalam politik adalah semata-mata untuk dakwah amru bil ma'ruf wa nahyu 'anil munkar. 2. Dalam beraktivitas publik (politik), bagi perempuan (dan laki-laki) berlaku prinsip fastabiqul khairat atau berlomba-lomba dalam kebaikan. Dalam konteks ini, Islam mendorong kemajuan bagi umatnya untuk meraih tingkat keilmuan dan tingkat keterampilan yang lebih baik. Dengan kemampuan dirinya itu diharapkan kaum perempuan dapat memberikan kontribusi dan perubahan yang lebih baik bagi masyarakatnya. 3. Setiap pria muslim hendaknya memberikan kesempatan kepada isterinya untuk memiliki saham dalam aktivitas tersebut. Pemberian kesempatan ini bukanlah merupakan shodaqoh dari suami kepada isterinya, melainkan merupakan kewajiban syariat seorang suami. Bahwa aktivitas istri tersebut untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan tanggung jawab dakwah sebagai muslimah. Hal ini juga merupakan analog atas perintah Rasul kepada kaum pria agar tidak melarang isteri-isteri mereka keluar ke masjid apabila para isteri tersebut memintanya. 4. Apabila suami tidak memperbolehkan, maka isteri wajib mentaatinya, karena taat kepada suami harus didahulukan atas segala kewajiban lainnya. Selama alasannya benar, tetapi jika alasannya tidak cukup maka sang suami berdosa. 5. Peran perempuan dalam ranah publik (politik) harus tetap menjaga keseimbangan dengan tugas-tugas rumah tangga sebagai seorang istri, ibu, dan pendidik bagi anak-anaknya. Karena sesungguhnya Allah SWT juga men-taklif kaum perembuan untuk menjadi pengelola rumah tangga dan pendidik generasi. Penutup Wanita muslimah memiliki peluang amal yang begitu luas di wilayah politik. Di wilayah itu, perempuan muslimah dapat meningkatkan potensi aqliyah-nya, potensi sosialnya, dan potensi lainnya, sehingga muslimah terberdaya dan dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakatnya. Peluang itu semata-mata harus dimanfaatkan untuk isti'maru al-ardl dengan amar ma'ruf dan nahyu 'anil munkar. Namun demikian, dalam beraktivitas publik (politik), seorang muslimah harus tetap memperhatikan rambu-rambu syar'i yang menjaganya supaya tetap dalam fitrahnya sebagai perempuan. Wallahu a'lam (Fraksi-PKS Online) http://mufdiyati.blogspot.com/2008/05/peran-politik-muslimah-dalam-kehidupan.html